Tentang Sepeda
- M.Rachman Alghaniy
- Dec 22, 2023
- 3 min read
Ini cerita soal seorang Ayah yang berjuang menafkahi keluarganya dari sebuah kendaraan roda dua dan mesin berupa kedua kaki.
"Pak, tulisan ini untukmu." - Alghaniy.
Ketika aku balita sering kali aku ikut bapak jalan-jalan. Kendaraan yang bapak miliki ketika itu hanyalah sepeda tua berwarna biru yang sudah kusam. Karena aku seringkali ikut bapak kemanapun ia pergi, aku dibuatkan bangku khusus dari kayu didepan. Aku ingat betul kala itu aku dibawa ke monumen Kota Bandung di Siang menuju Sore hari, lalu hujan deras mengguyur kami. Aku selalu rindu akan momen itu ketika aku mengayuh sepedaku di daerah Monumen.
Lambat laun aku semakin tumbuh besar dan bapak memiliki Sepeda Motor. Tentu saja aku diantarnya kemanapun aku ingin pergi dengan Motor tersebut. Sepeda tua bapak pun sudah tidak terpakai, dibawa oleh Om Pur, pamanku (Adik dari ibu) dan sudah hilang entah kemana sejak saat itu. Pernah sekali aku meminta dibelikan Sepeda ketika aku duduk dibangku Kelas 4 SD. Karena aku sedang seru mengikuti kartun Idaten Jump, mungkin anak seumuranku tahu anime tersebut. Begitu semangatnya aku ketika sepedaku sangat mirip dengan apa yang ada di Kartun tersebut. Sepedanya masih ada sampai sekarang meskipun dengan kondisi yang apa adanya, hihi.
ketika aku tumbuh remaja memasuki SMA, dibangku kelas 12 aku meminta dibelikan sepeda karena kalo aku meminta Sepeda Motor aku rasa itu akan memberatkan keuangan keluargaku. Dibelilah Sepeda Gunung sederhana yang tidak terlalu mahal dan aku gunakan sepeda tersebut kemanapun aku pergi termasuk berangkat sekolah.
Hingga sampai aku menggangur di tahun 2018 (Gap Year). Sepulang dari tempat Les-ku, aku menyusuri sekitaran Jalan Dago, aku melipir sejenak dibangku sisi jalan. Ditempat aku terduduk aku berfikir sejenak memandangi Sepeda tersebut. Hal yang kupikir, mengapa aku tidak memaksakan meminta untuk dibelikan sepeda motor. Karena aku cukup lelah kala itu. Namun, pikiranku dialihkan oleh kenangan bersama bapak waktu aku kecil. Meskipun aku sedang mempertanyakan masa depanku, sedang meragukan kredibilitasku sebagai seorang anak, sedang merasa kurang cukup dengan apa yang aku miliki. Tapi, dengan kenangan tersebut, aku berfikir jernih kembali untuk bersyukur dengan kondisiku saat ini.
Aku juga sempat menulis puisi ketika momen tersebut. Begini puisinya,

Karena aku mengetahui bagaimana perjuangan Bapak ketika mencari nafkah menggunakan sepeda-nya, bagaimana ia mengayuh sepedanya untuk keperluan mencari sepeser uang. Dibandingkan denganku yang hanya mengayuh untuk pergi Ke Sekolah atau sekedar untuk berolahraga. Aku sangat menghargai hal yang bapak lakukan untukku, untuk keluargaku.
Karena itu, Puisi tersebut adalah pesanku kepada Bapak untuk menungguku. Aku ingin membelikan Sepeda untuknya, aku ingin bersepeda dengannya kembali. Aku ingin mengajaknya ke puncak tertinggi Kota Bandung yang aku rasa itu akan mengembalikan momen dimana Bapak dulu pernah mengelilingi kota ini dengan sepedanya tersebut.
"Sudah 5 tahun dari nazar yang aku janjikan. Entah 2028 atau lebih lama/cepat, mohon tunggu aku, Pak. Mohon bersabar, anak laki-laki pertama-mu ini sedang memperjuangankan segalanya, Cita-citamu di dunia akan aku usahakan, Kerja kerasmu sampai detik ini akan membuahkan hasil sedikit lagi. Aku mohon jangan terlalu bersikeras pada dirimu sendiri, istirahatlah sejenak jika capai, minumlah teh/kopi buatan mamah, tundukanlah hatimu kembali seperti dulu kala engkau menundukkan hati kerasku dengan aksi kecilmu. Bersembahyanglah kembali kepada yang maha kuasa, pak. Barangkali Aku, Teteh, dan Mamah rindu dengan bapak yang dulu tenang menghadapai dunia ini. Tenang saja pak, aku akan siap menopang bahumu mulai saat ini. Aku akan berusaha sama kuatnya denganmu walaupun tidak mungkin. Anak laki-laki pertamamu ini adalah yang akan paling depan mendokan kebahagianmu. Tunggu aku, Pak." - Alghaniy.
Kommentare